Kamis, April 25, 2024

Ombudsman Sambut Positif UU Cipta Kerja Sektor Telekomunikasi

Techbiz.id – Meski terjadi banyak pro kontra, UU Cipta Kerja di kluster Pos dan Telekomunikasi justru dinilai memberikan banyak terobosan serta kepastian hukum.

Ombudsman yang selama ini mengkritisi regulasi telekomunikasi pun merespon positif. Selama ini Ahmad Alamsyah Saragih Komisioner Ombudsman Republik Indonesia menyoroti mengenai spektrum sharing.

Menurutnya persoalan spektrum sharing selama ini kerap menimbulkan kegaduhan. Ada operator telekomunikasi yang beranggapan spektrum sharing diperbolehkan. Namun ada pihak lain yang mengatakan spektrum sharing yang dilakukan oleh operator telekomunikasi tak diperkenankan.

Baca juga: Omnibus Law Mungkinkan XL Axiata dan H3I untuk Merger

“Di dalam UU Cipta Kerja kluster Pos dan Telekomunikasi sudah memberikan kepastian spektrum sharing. Sebelumnya di dalam Undang-Undang 36 belum disebutkan. Di UU Cipta Kerja spektrum sharing diperbolehkan hanya untuk teknologi baru. Kalau itu saya setuju sekali dengan terobosan yang ada di UU Cipta Kerja. Dengan diaturnya spektrum sharing untuk teknologi baru akan meningkatkan investasi di sektor TIK dan menjaga iklim usaha yang sehat. Saya apresiasi itu,”papar Alamsyah.

Pembangunan jaringan

Lebih lanjut, Alamsyah juga menaruh perhatian terhadap kepastian pembangunan jaringan telekomunikasi di daerah terpencil, terluar dan tertinggal (3T) yang selama ini menjadi kendala. Menurut Alamsyah, di dalam UU Cipta Kerja yang baru disahkan tersebut, pembangunan sarana dan prasarana telekomunikasi di daerah 3T mendapat perhatian khusus dari Negara.

Di dalam UU Cipta Kerja, Pemerintah juga mendorong kerja sama pemanfaatan infrastruktur pasif yang adil, wajar, dan non diskriminatif dalam penyediaan layanan telekomunikasi, dengan tetap mengedepankan kesepakatan bisnis dan mempertimbangkan rencana pemanfaatan jangka panjang.

Dengan adanya regulasi yang non diskriminatif tersebut, Alamsyah berharap masyarakat di kawasan dan gedung yang selama ini tidak bisa memilih penyelenggara telekomunikasi karena dimonopoli oleh penyelenggara telekomunikasi yang berafiliasi dengan pemilik Kawasan dan gedung, nantinya akan memiliki banyak pilihan penyelenggara layanan telekomunikasi.

UU Cipta Kerja sektor Pos dan Telekomunikasi juga membahas mengenai peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam memberikan fasilitas dan/atau kemudahan kepada penyelenggara telekomunikasi untuk melakukan pembangunan infrastruktur telekomunikasi.

Dengan adanya aturan tersebut Alamsyah berharap nantinya Pemerintah Pusat atau Pemda dapat membangun sarana dan prasarana telekomunikasi dengan menetapkan retribusi atau sewa dengan harga yang wajar bagi seluruh pelaku usaha telekomunikasi.

“Saya berharap nantinya penetapan retribusi dan sewa ini harus berkonsultasi dengan kementerian teknis. Ini harus tertuang dalam PP. Tujuannya untuk meminimalisir retribusi dan sewa yang tinggi atas barang dan lahan milik Negara seperti yang dilakukan oleh beberapa Pemerintah Kota,”terang Alamsyah.

Dalam UU Cipta Kerja juga mengatur mengenai sharing infrastruktur aktif melalui skema kerja sama dan kesepakatan para pihak dengan tetap memperhatikan quality of service (QoS) serta redundancy jaringan telekomunikasi.

Alamsyah berharap nantinya PP sebagai turunan regulasi UU Cipta Kerja dapat mengatur secara rinci aturan main dari sharing infrastruktur aktif ini. Sehingga berbagi jaringan aktif ini disamping menjunjung tinggi iklim persaingan usaha yang sehat, juga tetap memastikan adanya jaringan alternatif sebagai back up. Tujuannya agar layanan telekomunikasi tetap berfungsi meskipun jaringan utama mengalami gangguan.

“PP juga harus dipastikan kewajiban bagi operator yang melakukan sharing infrastruktur aktif ini untuk tetap memenuhi komitmen pembangunan dan mendukung perluasan cakupan layanan telekomunikasi yang saat ini sangat dibutuhkan masyarakat dalam menghadapi kondisi normal baru,”ujar Alamsyah.

Tarif layanan

Untuk menghindari industri telekomunikasi semakin terpuruk akibat perang harga, UU Cipta Kerja mengatur mengenai tarif batas bawah. Alamsyah berpendapat, penetapan tarif batas bawah yang memperhitungkan total cost memberikan jaminan pengembalian modal yang wajar bagi operator telekomunikasi.

Dengan demikian operator telekomunikasi dapat meningkatkan kualitas layanan serta melakukan investasi perluasan cakupan layanan.

“Saya sangat mengapresiasi niat pemerintah untuk memperbaiki industri telekomunikasi. Itu namanya safety net. Kompetisi antar operator telekomunikasi diperbolehkan. Cuma nantinya Negara dapat turun tangan ketika persaingan itu berpotensi menimbulkan kerugian jangka panjang,” tegasnya.

Selama ini menurut Alamsyah, operator berbisnis portofolio. Keuntungan mereka bukan berasal dari bisnis telekomunikasi tetapi dari kenaikan harga saham. UU Cipta Kerja ini menggembalikan industri telekomunikasi ke rel yang benar.

Belum rinci

Hanya saja menurut Alamsyah, kelemahan UU Cipta Kerja kluster Pos dan Telekomunikasi adalah belum mengatur secara rinci mengenai pengaturan spektrum radio untuk penyiaran.

Contoh frekuensi untuk penyiaran terestrial dan satelit tv berbayar yang selama ini utilisasinya dan pemasukan ke negara sangat rendah.

Komisioner Ombudsman ini sangat berharap nantinya pemerintah dapat segera mengatur penggunaan frekuensi untuk broadcasting dan untuk broadband.

“Tadinya saya sangat berharap pengaturan terhadap frekuensi broadcasting dan satelit tv berbayar dapat diatur rinci di UU Cipta Kerja. Tujuannya agar Pemerintah bisa segera mendapatkan digital dividen dari frekuensi yang idle. Setelah UU Cipta Kerja ini disahkan saya berharap pemerintah dapat mengatur tentang alokasi penggunaan frekuensi tersebut di PP,” terang Alamsyah.

Terkait

Artikel Terkait

Memajukan Potensi Digital Bersama Gerakan 100% untuk Indonesia

Techbiz.id - Akses internet merupakan salah satu sarana terbaik untuk membuka berbagai peluang baru bagi masyarakat. Tergantung bagaimana pemanfaatannya,...