Techbiz.id – Kasus kebocoran 1,3 Miliar data Sim Card, menjadi catatan baru betapa rentannya ruang siber Indonesia dan pentingnya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP)
Belum ada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) di Indonesia ini menambah tingkat kesulitan tersendiri dalam hal pengungkapan sebuah kasus kebocoran data.
“Dengan kondisi di Indonesia yang belum ada UU PDP, membuat tidak ada upaya memaksa dari negara kepada peneyelenggara sistem elekntronik (PSE) untuk bisa mengamankan data dan sistem yang mereka kelola atau dengan standar tertentu,” kata pakar keamanan siber, Pratama Persadha kepada redaksi Techbiz.
Akibatnya dari banyaknya kasus yang terjadi tidak ada yang bertanggungjawab, semua merasa menjadi korban. Padahal soal ancaman peretasan ini menurutnya sudah diketahui luas.
“Seharusnya PSE melakukan pengamanan maksimal, misalnya dengan menggunakan enkripsi/penyandian untuk data pribadi masyarakat atau melakukan pengamanan maksimal, demi nama baik lembaga atau perusahaan.” lanjut, pengamat asal Cepu, Jawa Tengah ini.
Pratama menurutkan di Uni Eropa pihak regulator memberikan denda bisa mencapai 20 juta euro untuk setiap kasus penyalahgunaan dan kebocoran data pribadi masyarakat.
Dan dalam hal ini, Pratama yang juga chairman Lembaga Riset Siber Indonesia (CISSReC) juga berharap BSSN bisa masuk lebih dalam pada berbagai kasus kebocoran data di tanah air. Minimal menjelaskan ke publik bagaimana dan apa saja yang dilakukan berbagai lembaga publik yang mengalami kebocoran data akibat peretasan.
Selama ini selain tidak ada sanksi yang berat, menurut Pratama karena belum adanya UU PDP, maka paska kebocoran data tidak jelas apakah lembaga bersangkutan sudah melakukan perbaikan atau belum.
“Jadi publik perlu tahu, dan bila ini terus terjadi maka dunia internasional akan meningkat ketidakpercayaan pada Tanah Air. Padahal kini Indonesia “pemimpin” G20, jangan sampai ajang G20 nanti dihiasi kebocoran data,” pungkasnya.
Baca juga: