Techbiz.id – Pemerintah diminta menjadikan Keamanan dan Ketahaan Siber sebagai program nasional dan internasional mengingat kasus kejahatan siber makin kerap terjadi di Indonesia. Tidak hanya menimpa dunia usaha, namun juga instansi milik negara.
Terbaru adalah aksi peretasan sistem IT BPJS Ketenagakerjaan. Menurut Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), aksi kejahatan siber terhadap sistem IT pelaku usaha dan instansi negara, makin marak terjadi dalam tiga tahun terakhir ini.
Lembaga negara tersebut mencatat ada sekitar 5 ribu kasus kejahatan lebih pada 2021. Bahkan, tahun lalu, aksi peretasan dan penyusupan ke sistem IT juga menyerang Bank Indonesia, Pertamina hingga Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Dapat dikatakan, kejahatan dunia maya ini bukanlah hal baru, tapi telah terjadi sejak awal tahun 2000an, dan kini intensitasnya semakin meningkat seiring makin pesatnya pertumbuhan penggunaan sistem TI pada proses kerja dan bisnis di swasta maupun pemerintahan.
Laporan National Cyber Security Index (NCSI) bahkan mencatat, skor indeks keamanan siber Indonesia sebesar 38,96 poin dari 100 pada 2022. Angka ini menempatkan Indonesia berada di peringkat ke-3 terendah di antara negara-negara G20. Sementara secara global, Indonesia menduduki peringkat ke-83 dari 160 negara dalam daftar di laporan tersebut.
Sayangnya, dengan kondisi yang sangat rentan seperti itu, pemerintah terkesan belum serius dalam menangani kejahatan dunia maya. Upaya perbaikan untuk meningkatkan keamanan siber di Indonesia menurut Chairman Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja masih jauh dari yang diharapkan. Lebih lanjut Ardi berpendapat bahwa ada masalah ego sektoral kronis yang parah dalam penanganan keamanan siber di Indonesia.
“Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan birokrasi, nah kalau pendekatan birokrasi masing-masing sektor akan punya “kerajaan-kerajaan kecil” yang harus didahulukan. Sedangkan pendekatan di cyber security itu harus agile dan out of the box karena kita ini berlomba dgn waktu dan ini juga terkait dengan nyawa manusia serta kelangsungan hidup dunia usaha,” ungkapnya.
Penanganan kejahatan siber selama sekian tahun ini menurut Ardi hanya terfokus pada apa yang terlihat di puncang gunung es, padahal ancaman siber yang sesungguhnya itu ada di bawah permukaan gunung es yang tidak terlihat.
Terkait peretasan yang terjadi dalam kejahatan siber menurutnya kejadian ini bukan hanya sudah berkali-kali, tapi sudah menjadi kejadian sehari-hari yang disadari dan tidak.
“Bahkan ada kejadian besar terhadap bank asing yang beroperasi di Indonesia, justru luput dari pemberitaan media dan sampai sekarang ada yang tidak tahu. Kejadiannya justru meledak di Australia,” ungkap Ardi.
Dalam menangani tindak kejahatan siber, Pemerintah menurut Ardi masih sebatas menjadi penonton di lapangan dan tidak menjadikan masalah isu keamanan dan Ketahanan siber menjadi agenda nasional yang mengancam keamanan nasional.
Beberapa Duta Besar dari negara tetangga menurut Ardi bahkan sudah menyampaikan kekhawatiran negara mereka terkait keamanan siber di Indonesia.
“Overhaul kebijakan keamanan siber nasional dimulai dari badan yang seharusnya menangani keamanan siber agar lebih agile, gaul dan lebih profesional, serta paham arti kolaborasi. Pemerintah harus menjadikan Keamanan dan Ketahanan Siber sebagai program nasional dan internasional,” pungkasnya.
Baca juga: