Techbiz.id – Program Indonesia Merdeka Sinyal yang diinisiasi Kemenkominfo di era Menteri Rudiantara, saat ini menjadi perhatian Komisi I DPR RI. Dalam Rapat Kerja dengan Kemenkominfo pada 5 Februari 2020, disampaikan bahwa Komisi I DPR RI mendesak Kemenkominfo untuk serius mencapai target Indonesia Merdeka Sinyal.
Program yang diharapkan akan memberikan manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat ini masih menemukan banyak kendala. Pencapaiannya pun masih jauh dari apa yang ditargetkan. Menurut Mohammad Ridwan Effendi, Sekretaris Jenderal Pusat Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB, hal tersebut disebabkan tidak fokusnya program BAKTI selaku Badan Layanan Umum (BLU) di bawah Kemenkominfo yang ditugaskan melaksanakan program Indonesia Merdeka Sinyal.
Selain program Indonesia Merdeka Sinyal, BAKTI masih terbebani dengan proyek Palapa Ring serta proyek ambisius lainnya yaitu untuk memiliki satelit sendiri bernama Satelit Indonesia Raya (SATRIA). Padahal pendapatan BAKTI terbilang minim. Sepanjang tahun 2018, BAKTI hanya mampu membukukan pendapatan sebesar Rp 2,9 triliun. Di tahun 2019 pendapatan BAKTI diperkirakan hanya Rp 3,1 triliun. Pendapatan BAKTI tersebut berasal dari uang iuran USO operator yang nilainya 1,25% dari revenue para operator.
Proyek Palapa Ring yang terdiri dari Paket Barat, Tengah, dan Timur serta proyek SATRIA yang digagas BAKTI di era Menteri Rudiantara semua dilakukan dengan pola kerjasama dengan perusahaan swasta melalui mekanisme Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).
Untuk kerjasama pembangunan Palapa Ring Paket Barat, BAKTI mengeluarkan anggaran operasional Rp 232,4 miliar per tahun. Sementara untuk anggaran yang dikeluarkan untuk Palapa Ring Paket Tengah BLU Kemenkominfo tersebut harus merogoh kocek Rp 249,1 miliar per tahun. Sementara biaya operasional Palapa Ring Paket Timur, BAKTI harus mengalokasikan dana sebesar Rp 1,3 triliun per tahun.
Ironisnya dana yang telah dianggarkan tersebut tidak sesuai dengan utilisasi yang diharapkan. Hingga saat ini utilisasi Palapa Ring secara keseluruhan, masih sangat rendah yaitu hanya 6% saja.
Sedangkan untuk pengadaan SATRIA, BAKTI harus mengalokasikan dana Rp 21 triliun. Jumlah tersebut belum termasuk biaya pengadaan ground segment yang mencapai jumlah 150 ribu titik seperti sekolah, kantor pemerintah daerah, kantor TNI dan POLRI serta rumah sakit yang tidak ada korelasinya dengan program USO serta Indonesia Merdeka Sinyal. Jika harga ground segment tersebut Rp 20 juta maka dana tambahan yang harus dikeluarkan BAKTI agar SATRIA dapat beroperasi mencapai Rp 3 triliun.
Tak hanya itu saja. Sebelum SATRIA meluncur ke orbitnya, BAKTI juga harus mengeluarkan biaya untuk sewa satelit dari tahun 2019 hingga 2024. Total dana yang dikeluarkan untuk sewa satelit tersebut mencapai Rp 7 triliun.
Jika dilihat dari total kewajiban BAKTI untuk membiayai Palapa Ring, pengadaan SATRIA dan operasional BTS USO yang sudah berjalan, Ridwan menilai BAKTI akan tekor. Jika BAKTI terus memaksakan diri untuk menjalankan program tersebut, menurut Ridwan akan membebani anggaran negara dan berpotensi membuat negara mengalami kerugian serta berdampak pada lambatnya pembangunan BTS USO yang saat ini sudah berjalan dengan baik.
Banyaknya kendala tersebut membuat Ridwan meminta kepada BAKTI untuk tidak memaksakan diri dan dapat berfikir realistis. Jika BAKTI tetap ngotot ingin menjalankan proyek SATRIA, Ridwan memperkirakan pendapatan BAKTI dari dana USO operator tidak bisa menutupi kewajiban pendanaan jangka panjang SATRIA.
“Harusnya BAKTI sudah bisa realistis. Jika tidak mampu seharusnya bisa diserahkan kepada operator satelit dalam negeri saja. Jangan memaksakan diri. Selain jumlahnya sangat besar, jangka waktu pembayarannya juga lama. Padahal di APBN tidak ada alokasi pendanaan untuk SATRIA,” terang Ridwan.
Dari pada kesulitan untuk mencarikan dana SATRIA, Ridwan menyarankan Menkominfo Johnny Gerard Plate untuk menyerahkan operasional pengadaan satelit di daerah USO kepada operator satelit dalam negeri. Ridwan menilai jika pengelolaan pengadaan akses satelit di daerah USO diserahkan kepada operator nasional dampaknya akan baik bagi iklim persaingan usaha. Saat ini operator satelit dalam negeri masih mampu untuk mencukupi kebutuhan proyek dari BTS USO.
Dengan menyerahkan operasional jaringan akses satelit telekomunikasi kepada operator satelit dalam negeri, maka pemerintah dapat mengubah skema pembayaran dari availability payment menjadi Pay As You Use. Dengan Pay As You Use, BAKTI hanya membayar sesuai dengan kapasitas yang dipergunakan saja. Sendangkan sistim availability payment, BAKTI akan membayar seluruh biaya investasi yang dikeluarkan oleh operator satelit tertentu.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut Ridwan memohon kepada Menkominfo dapat segera memutuskan untuk membatalkan SATRIA dan menyerahkan pengadaan jaringan satelit kepada operator dalam negeri yang sudah ada. Membatalkan SATRIA dan mengalihkan pengadaan jaringan satelit kepada operator dalam negeri dinilai Ridwan tak akan menghambat Indonesia Merdeka Sinyal yang tengah digalakkan Kemenkominfo.
“Dengan mempertimbangkan dana USO yang diterima BAKTI minim dan biaya operasional yang sangat besar, justru pembatalan SATRIA ini akan memberikan kepastian percepatan program Indonesia Merdeka Sinyal. Karena dana dan sumber daya yang seharusnya dialokasikan untuk SATRIA dapat langsung dipergunakan untuk membangun BTS di daerah USO,” terang Ridwan.
Agar proyek Indonesia Merdeka Sinyal ini dapat lebih cepat lagi tercapai, Ridwan menyarankan kepada Pemerintah untuk menyerahkan pembagunan BTS USO kepada operator telekomunikasi yang sudah ada. Lanjut Ridwan, nantinya pembagunan yang dilakukan oleh operator telekomunikasi tersebut dapat dihitung sebagai kontribusi USO operator kepada BAKTI.