Techbiz.id – Berdasarkan data di Statistik Fintech Lending Otoritas Jasa Keuangan (OJK) November 2020, jumlah rekening lender (pemberi pinjaman dana) ataupun investor di Fintech P2P lending meningkat 19,26% secara yoy menjadi sebanyak 705.643.
Apakah hal itu menandakan bahwa pendanaan P2P lending bisa menjadi sarana investasi yang menguntungkan untuk kita?
Secara garis besar P2P lending adalah sebuah platform yang mempertemukan pihak yang membutuhkan dana, yang dalam hal ini adalah pelaku UMKM atau perorangan.
Baca juga: Begini Cara Melaporkan Jerat Fintech Ilegal
Peminjam (borrower) berharap mendapat dana segar yang bisa dipakai untuk kegiatan produktif atau konsumtif. Sementara itu, para pendana (lender) berharap imbal hasil dari pendanaannya.
Bukan rahasia lagi bahwa tidak sedikit P2P lending yang menjanjikan pendanaan dengan imbal hasil cukup besar. Ada yang 8% per tahun, ada juga yang mencapai 24% per tahun.
Imbal hasil sebesar itu jelas bisa mengalahkan imbal hasil instrumen pendapatan tetap seperti deposito, surat berharga negara atau swasta.
Jika tertarik memilih P2P lending sebagai alternatif pendanaan? Lifepal mencatat beberapa hal yang sebaiknya Anda ketahui sebelum memutuskan untuk menjadi pendana (investor) di P2P lending.
1. Risiko pendanaan cenderung moderat menuju tinggi
Secara garis besar, risiko yang dihadapi para pendana (lender) dalam pendanaan P2P lending tergolong moderat dan menuju tinggi. Oleh karena itu, perlu dicermati seluk belum mengenai jenis pendanaan yang ditawarkan oleh platform-platform P2P lending di pasaran.
Dari segi peminjamnya, P2P lending dibedakan menjadi dua jenis yaitu produktif (pendanaan untuk kepentingan bisnis), dan konsumtif (untuk kegiatan konsumtif).
Pendanaan di sektor konsumtif umumnya dipermanis dengan imbal hasil tinggi, namun risikonya pun tergolong lebih tinggi, berbeda dengan produktif.
Setiap pendanaan yang bersifat produktif tentu diajukan oleh pebisnis yang memiliki kesehatan keuangan yang bisa diukur lewat laporan keuangan, tempat usaha yang jelas, dan beberapa diantaranya memiliki jaminan berupa tagihan atau invoice.
Sementara itu, borrower individu yang hendak meminjam dana untuk konsumtif bisa saja memberikan identitas palsu atau berpindah domisili untuk menghindari tagihan.
Adapun risiko lain yang dihadapi pendana P2P lending adalah risiko likuiditas. Uang yang menjadi modal pendanaan tidak akan bisa ditarik sebelum masa jatuh tempo.
2. Pilih perusahaan yang terdaftar dan diawasi OJK
Perusahaan fintech peer to peer lending ada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Regulasi dari P2P lending itu sendiri diatur oleh peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) nomor 77/pojk.01/2016.
Agar tidak terjerumus dalam jeratan investasi bodong, pilihlah perusahaan P2P lending yang memang sudah terdaftar dan berizin OJK.
3. Cek jumlah pendanaan yang sudah disalurkan oleh perusahaan tersebut
Selain terdaftar dan diawasi OJK, kenalilah dengan baik perusahaan yang Anda tuju. Bagaimana cara mengenalinya?
Yang pertama tentu saja dengan mencari tahu berapa besar pendanaan yang pernah mereka salurkan ke peminjam. Informasi seputar jumlah penyaluran pendanaan tentu dipampang di situs atau aplikasi milik perusahaan yang bersangkutan.
Apakah semakin besar jumlah pendanaan menandakan semakin baik pula perusahaan tersebut? Sederhananya, makin besar jumlah penyaluran dana menunjukkan besarnya kepercayaan pendana terhadap platform tersebut.
4. Kenali risiko perusahaan lewat TKB90
Risiko utama yang patut diwaspadai adalah risiko gagal bayar para borrower. Namun tidak perlu khawatir, karena OJK mewajibkan para perusahaan P2P lending untuk menampilkan tingkat keberhasilan TKB90 pada publik.
TKB90 dapat didefinisikan sebagai tingkat keberhasilan P2P lending dalam memfasilitasi penyelesaian kewajiban pinjam meminjam dalam jangka waktu hingga 90 hari sejak tanggal jatuh tempo.
Nilai TKB 90 dihitung dari 100% dikurangi TKW90 (tingkat wanprestasi) atau non-performing loan. Semakin tinggi TKB90 maka semakin baik kinerja perusahaan tersebut.
5. Cari tahu apa perusahaan P2P lending yang Anda tuju sudah mendapat pendanaan
Kenalilah dengan baik, apakah perusahaan fintech P2P lending yang Anda tuju sudah mendapat pendanaan dari perusahaan permodalan ventura. Modal dari perusahaan modal ventura dikenal dengan Istilah pendanaan Seri A, Seri B, dan lainnya.
Pada intinya, adanya penandaan menunjukkan besarnya kepercayaan investor terhadap perusahaan penyelenggara P2P lending tersebut.
6. Bila ada agunan lebih aman
Agunan atau jaminan yang diberikan borrower ke P2P lending tentu bisa memitigasi risiko gagal bayar dalam proses pendanaan. Ketika borrower tidak lagi mampu mengembalikan pendanaan yang dipinjamnya, maka aset yang diagunkan oleh borrower bisa dilelang atau dijual untuk melunasi pinjamannya.
Dengan adanya agunan, borrower pun umumnya hanya akan mendapat persetujuan pinjaman yang nilainya tidak melebihi harga agunan yang dijaminkan.
Itu sebabnya, dengan adanya agunan tentu menjadikan proses pendanaan ini menjadi lebih aman.
7. Ketika ada asuransi kredit, risiko pendanaan bisa diminimalisir
Dalam pendanaan P2P lending, asuransi akan menjadi perlindungan yang paling baik bagi lender. Pada dasarnya, asuransi kredit akan memberikan proteksi yang ditujukan untuk menekan risiko gagal bayar dari para borrower.
Sebagian besar platform P2P lending telah menjalin kerja sama dengan sejumlah perusahaan asuransi untuk mengatasi masalah ini.
Ketika sebuah pinjaman diasuransikan dan peminjam gagal mengembalikan dana tersebut, maka modal awal pendanaan lender akan dikembalikan. Jumlah pengembalian itupun cukup beragam, ada yang 70% dari modal utama, 80% hingga 100%.
8. Pendana P2P lending adalah harta yang harus dilaporkan
Ketika Anda memiliki pendanaan yang masih berjalan, maka hal itu harus dicantumkan sebagai harta saat Anda melakukan laporan SPT tahunan.
Di bagian Kode Harta di E-filing situs https://djponline.pajak.go.id, Anda bisa memilih kode 039 (Investasi Lainnya) dan mengisinya dengan “pendanaan P2P lending.”
9. Anda harus mengurus perpajakan sendiri terkait imbal hasil pendanaan P2P lending
Harta berupa deposito dikenakan pajak final 20%, surat utang negara 15%, sedangkan saham 0,01%. Oleh karena itu, imbal hasil yang kita terima dari dua instrumen ini sudah dipotong pajak. Lalu, bagaimana dengan P2P lending?
Perusahaan pengelola platform P2P lending tidak akan memotong pajak dari imbal hasil pendanaan Anda, sehingga masalah perpajakan akan menjadi tanggung jawab Anda sendiri sebagai lender. P2P lending dikenakan PPh 23, mengingat bunga P2P lending bukan merupakan bunga yang dibayarkan oleh bank.
Seperti diketahui, beberapa objek PPh 23 yang dikategorikan bunga adalah premium, diskonto, dan imbalan atas jaminan pengembalian utang.
Adapun besaran PPh untuk bunga P2P lending adalah 15% dari jumlah bruto jika pendana memiliki NPWP. Jika tidak memiliki NPWP, tarifnya 100% lebih tinggi alias 30% dari jumlah bruto.
10. Jangan gunakan seluruh dana Anda
P2P lending sejatinya akan memberikan imbal hasil pendapatan tetap bagi Anda, dan sebagian metode pendanaan P2P lending dilakukan secara lump sum. Melihat keuntungan P2P lending yang juga besar, maka besar pula godaan kita untuk menempatkan dana dalam jumlah besar sebagai modal pendanaan.
Selalu ingat poin pertama bahwa pendanaan ini memiliki risiko moderat menuju tinggi. Risiko gagal bayar masih tetap ada.
Itulah beberapa hal yang harus Anda perhatikan sebelum menjadi pendana di P2P lending. Pastikan saja bahwa, dana yang Anda alokasikan sebagai modal pendanaan sudah Anda perhitungkan dengan baik dan sesuai dengan tujuan investasi Anda ke depan.