Sabtu, April 27, 2024

Vital, Persaingan Usaha Telekomunikasi harus Diatur Tegas

Techbiz.id – Sebagai peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja yang telah disahkah, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Sektor Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (RPP Postelsiar) memuat berbagai kemudahan berusaha.

Salah satu bentuk kemudahan berusaha adalah kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio untuk penerapan teknologi baru berupa 5G. Teknologi seluler generasi ke-5 ini memerlukan spektrum frekuensi radio yang lebar dan contiguous.

Namun, kerja sama atas spektrum frekuensi radio sebagai alat produksi strategis dalam industri telekomunikasi memunculkan risiko terjadinya pengaturan alat produksi dan kolusi. Jika tidak diatur dengan baik, dapat berakibat timbulnya monopoli yang dapat berujung pada persaingan usaha tidak sehat. Hal ini tentu menjadi perhatian dari semua pihak.

Melihat potensi adanya monopoli sektor telekomunikasi dari kerja sama atas spektrum frekuensi radio ini Riant Nugroho Direktur Rumah Reformasi Kebijakan, menilai peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjadi sangat krusial.

Baca juga: Spektrum Sharing untuk 5G Sebaiknya Berlaku Nasional

Menurut Riant, monopoli tersebut tidak semuanya salah. Ada beberapa kondisi yang memang memerlukan terjadinya monopoli. Monopoli karena hukum terjadi disebabkan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur suatu pasar. Tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat yang lebih luas. Contohnya penyediaan infrastruktur publik seperti listrik yang dimonopoli oleh PLN, BBM yang dimonopoli oleh Pertamina dan air yang dimonopoli oleh PDAM.

Ada pula monopoli yang terjadi secara alami. Sebagai contoh, di suatu wilayah hanya terdapat satu operator telekomunikasi, sedangkan operator telekomunikasi lain tidak melayani daerah tersebut karena berbagai pertimbangan ekonomi dan operasional.

Selain itu, terdapat pula monopoli yang terjadi karena lisensi. Contohnya adalah perusahaan farmasi yang berhasil menemukan ramuan obat mendapatkan lisensi atau paten atas penemuan tersebut. Lisensi atau paten tersebut adalah bentuk insentif dari pemerintah atas inovasi. Seperti diketahui, research and development tersebut membutuhkan waktu, tenaga, serta biaya yang tidak sedikit.

Namun, Riant tidak memungkiri juga, terdapat monopoli yang sengaja dibentuk untuk menghasilkan keuntungan sebagian pihak saja. Monopoli jenis ini biasanya terbentuk dari merger, akuisisi, dan/atau kolusi yang tujuannya tidak lain untuk mengatur alat produksi. Ujungnya, pihak yang memonopoli dapat menentukan harga pasar sesukanya.

“Yang dikhawatirkan itu bukan kondisi monopoli, tetapi praktek monopoli. Di UU 5/1999 sudah dijelaskan bahwa monopoli adalah suatu kondisi, sedangkan praktek monopoli adalah suatu kegiatan pemusatan kekuatan ekonomi sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.” terang Riant.

Terbatasnya ketersediaan spektrum frekuensi radio untuk penerapan 5G dan kebutuhan bandwidth yang besar memerlukan pengaturan khusus dari pemerintah. Menurut Riant, penguasaan frekuensi 5G untuk satu operator bisa menjadi salah satu alternatif pengaturan yang dapat dipertimbangkan Pemerintah.

“5G itu perlu spektrum frekuensi 100 MHz dan contiguous. Kalau spektrum frekuensinya dipecah-pecah kemudian disebar ke seluruh operator, maka 5G tidak akan terlaksana.” jelas Riant.

Operator lain yang tidak mendapatkan alokasi spektrum frekuensi radio dapat bekerja sama dengan operator 5G yang mendapat alokasi spektrum frekuensi. Maksud kerja sama ini baik, yaitu memungkinkan terselenggaranya layanan 5G di Indonesia demi mendukung transformasi digital nasional.

“Dalam beberapa kondisi tertentu, monopoli tidak bisa dihindari. Yang perlu diantisipasi adalah praktek monopoli dan tindakan penyalahgunaan posisi monopoli yang merugikan masyarakat.” papar Riant.

Selain kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio, ada beberapa pengaturan lain sebagai kebijakan publik dalam RPP Postelsiar yang dinilai Riant akan berdampak terhadap persaingan usaha.

Beberapa pengaturan tersebut adalah penerapan tarif batas atas dan/atau tarif batas bawah, kerja sama infrastruktur aktif, serta pengalihan hak penggunaan spektrum frekuensi radio. Agar Kemenkominfo tidak menghadapi berbagai perdebatan dan tuntutan di kemudian hari, mantan KRT BRTI ini menyarankan keterlibatan KPPU dimulai sejak dari awal.

“Keterlibatan KPPU harus diatur agar bersifat pre-evaluation bukan post-evaluation. Tujuannya untuk mencegah pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab mempermasalahkan keputusan Kemenkominfo ke kemudian hari” terang Riant.

Agar praktik monopoli dan percaloan lisensi tidak terjadi di industri telekomunikasi, menurut Riant selain melibatkan KPPU, Pemerintah perlu membuat badan regulator telekomunikasi yang independen.

Sebab saat ini regulator telekomunikasi di Indonesia sudah di bubarkan oleh Presiden. Jika badan regulasi tidak dibentuk, menurut Riant kebijakkan yang dibuat oleh pemerintah dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang nakal.

“Bisnis telekomunikasi ini melibatkan dana yang sangat besar. Oleh sebab itu peran KPPU dan badan regulator telekomunikasi yang independen sangatlah penting. Jika industri telekomunikasi sehat maka masyarakat dan negara yang akan diuntungkan,” tutup Riant.

Terkait

Artikel Terkait

Memajukan Potensi Digital Bersama Gerakan 100% untuk Indonesia

Techbiz.id - Akses internet merupakan salah satu sarana terbaik untuk membuka berbagai peluang baru bagi masyarakat. Tergantung bagaimana pemanfaatannya,...